Articles by "Kajian Ulama"
Showing posts with label Kajian Ulama. Show all posts

Petuah Mbah Hamid Kepada Para Pendidik

Santrionline.net~​Ada satu kisah dari Waliyulloh Agung dari Pasuruan, Kiai Hamid, tentang bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi murid yang tidak sesuai dengan harapannya.

Suatu hari di sekitar tahun 60-an, salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya, dari 100 lulusan pelatihan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yg betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.

Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.

“Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat.”

Kalau inginnya mencetak orang ‘alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi ‘alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain.

(dari buku Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan).
Read: Isa Anshori
Dua warga berkebangsaan Jepang, Tatsunori Hoshi dan Ohnurkunjung ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Jumat (6/1). Pria dan wanita ini beriktikad masuk Islam melalui bimbingan Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj. Kiai Said pertama-tama menjelaskan bahwa Islam adalah agama membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam tak hanya tentang iman tapi juga akhlak dan peradaban. “Islam itu mengasihi, anti-kekerasan,” paparnya yang kemudian diterjemahan ke dalam bahasa Jepang.

Doktor lulusan Universitas Ummul Qura Makkah ini lalu menuntun satu persatu dari mereka untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Ohnuma Yoka yang sudah satu tahun tinggal di Indonesia menerjemahkan syahadat dengan bahasa Indonesia, sementara Tatsunori Hoshi dengan bahasa Jepang.
Setelah resmi masuk Islam, Kiai Said tak menghapus dua nama asli mereka kecuali dengan menambah nama Ali untuk Tatsunori Hoshi sehingga menjadi Ali Tatsunori Hoshi, dan nama Sholehah untuk Ohnuma Yoka sehingga menjadi Ohnuma Sholehah Yoka.
Ohnuma mengaku masuk Islam atas kesadaran sendiri. Ia tertarik dengan Islam yang menekankan persaudaraan dan kepedulian untuk sesama. “Selasa satu tahun saya tinggal di Indonesia, saya mengenal Islam sebagai agama yang peduli dengan fakir miskin,” tambah Ohnuma dengan logat Jepang yang kental.
Ohnuma Sholehah Yoka juga mengaku di Indonesia sedang bekerja di sebuah perusahaan internet. Sedangkan orang tuanya yang beragama Kristen tinggal di Jepang. “Orang tua saya tidak mempermasalahkan saya masuk Islam,” tuturnya.
Ohnuma berteman dengan Tatsunori sejak tahun lalu. Tatsunori bekerja di perusahaan milik Muhammad Suzuki Nobukazu, pengusaha Jepang yang ikut mendampingi dalam kesempatan ini. Suzuki juga masuk Islam melalui bimbingan PBNU pada 2015 lalu.
Hadir dalam kesempata itu Ketum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali Masykur Musa, Bendara Umum PBNU Bina Suhendra, Wasekjen PBNU H Andi Najmi Fuaidi, serta Ketua PBNU Marsudi Syuhud dan Robikin Emhas.
#Nu online

Oleh Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri

When the Prophet Muhammad migrated to Madina he was surprised to find the Jewish community fasting on a day known as ‘Ashura’, which fell in the Arabic (later Islamic) month of Muharram. During his life in Makkah, the Prophet used to observe a fast on this day. When he asked them why they fast on this day, the Jewish community replied that it was in celebration of Moses’ deliverance from Pharoah. The Prophet told his community that they too were believers in Moses and were deserving of commemorating the momentous occasion of his deliverance. Without questioning the authenticity of the date, despite the Hebrew calendar being different to the Arabic, the Prophet accepted their reason and instructed his community to observe the fast too. Acknowledging a sacred event is not related to the time of its happening as much as it is related to its meaning, which is to celebrate it in joy of God’s favours and love for the righteous.
Maintaining a connectedness to religious occasions that are intimiately tied to sacred symbols is common in Islam and deeply connected to faith. Hajj, the annual pilgrimage, is the fifth pillar of Islam and replete with these meanings. For example, the circumambulation of a House built by Ibrahim and his son Ismail; the walking between Safa and Marwa where Hajar went on her search for water for her infant child; the throwing of stones in Mina where the devil tried to tempt Ibrahim away from sacrificing his son; and the ritual slaughter that marks the willingness of Ibrahim to sacrifice his son for God. This is the greatness of religious rituals; that they are forms imbued with profound meanings and not simply actions which are meant to be ritually repeated.
The Quran tell us: “And remind them of the days of God; indeed, in them are signs for those who are forbearing and grateful.” As we approach the occasion of Jesus Christ’s birth, we feel that we are confronted with a day from among the ‘days of God’. This day was distinguished by an immense miracle related to his birth. This birth was connected to meanings of peace that we are in dire need of today.
Yes, God made Jesus Christ a symbol of peace for this world.
Did the Quran not inform us of Christ’s words, “Peace was upon me the day I was born, and will be on me the day I shall die, and the day I am raised to life again.”? These words alone are sufficient enough as a reason for our joy on this noble occasion, irrespective of its exact date and the differing opinions that exist among Christian denominations. The birth of Jesus Christ is less about the precise date and more about the meaning embodied in his emergence into this world.
I offer my greetings to the Prophet Muhammad on the birth of Jesus Christ, who affectionaly described the son of Mary as his brother and said of him, “I have the best right to Jesus son of Mary in this world and the next.”
Likewise, I offer my greetings to Muslims, Christians and humanity at large on this blessed occassion.
And I say to Jesus Christ: my master, the spirit of God and His word, peace be upon you the day you were born, the day you shall die and the day you will be raised to life again. ( Via : http://m.huffpost.com/us/entry/us_585a5249e4b04d7df167cbd8? )

//Translate By Heikal Lazuardi

Ketika nabi muhammad hijrah ke Madinah Ia terkejut menemukan komunitas yahudi berpuasa dihari yang dikenal sebagai hari 'Asyura', yang jatuh pada bulan muharram. Selama hidupnya di Mekkah, Nabi mengamati puasa pada hari itu, ketika Ia bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari ini, komunitas yahudi menjawab bahwa itu dilakukan dalam rangka merayakan pembebasan musa dari Fir'aun. Nabi mengatakan pada masyarakat Yahudi disana, bahwa mereka juga percaya pada musa dan layak memperingati peristiwa penting pembebasannya. Tanpa mempertanyakan keaslian tanggal, meskipun kalender ibrani berbeda dengan bahasa arab, Nabi menerima alasan mereka dan menginstruksikan untuk mengamati dan berpuasa juga. Mengakui acara sakral tidak berhubungan dengan waktu yang terjadi selama itu berkaitan dengan maknanya, yaitu untuk merayakan suka cita nikmat Allah dan cinta bagi orang yang bertaqwa.
Mempertahankan keterhubungan untuk acara-acara keagamaan yang begitu intim terikat simbol sakral adalah umum dalam islam dan sangat terhubung dengan Iman. Haji dan ziarah tahunan, adalah rukun Islam ke lima dan penuh dengan makna. Misalnya, pradaksina dari rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan putranya Ismail; kemudian perjalanan antara safa dan marwah dimana Hajar melanjutkan pencarian air untuk anak bayinya; lempar batu di Mina dimana iblis mencoba menggoda Ibrahim agar jauh dari mengorbankan anaknya; dan ritual penyembelihan yang menandai kesediaan Ibrahim untuk mengorbankan anaknya untuk tuhan. Ini adalah kebesaran ritual keagamaan; bahwa mereka adalah bentuk dari jiwa dan makna yang mendalam dan tidak hanya tindakan yang dimaksudkan untuk ritual yang berulang.
Quran memberitahu kita : "Dan mengingatkan mereka pada hari Allah; memang, diantaranya adalah tanda-tanda bagi orang-orang yg sabar dan bersyukur". Ketika kita mendekati kesempatan kelahiran Yesus Kristus, kita merasa bahwa kita dihadapkan dengan hari dari kalangan 'hari tuhan'. Hari ini dibedakan oleh keajaiban besar yang berkaitan dengan kelahirannya. Kelahiran ini terhubung ke makna perdamaian yang kita butuhkan hari ini.
Ya, Allah membuat Yesus Kristus sebagai simbol perdamaian bagi dunia ini.
Apakah Alquran tidak menginformasikan kepada kita tentang kata-kata Yesus Kristus, "Perdamaian adalah hari dimana aku dilahirkan, hari ketika aku wafat, dan hari dimana aku dibangkitkan kembali". Kata-kata ini saja sudah cukup memadai sebagai alasan untuk suka cita kita pada kesempatan yang mulia ini, terlepas dari tanggal yang tepat dan perbedaan pendapat yang ada diantara dominasi Kristen. Kelahiran yesus kristus adalah kurang tentang tanggal yang tepat, dan lebih lanjut, ini tentang makna yang terkandung dalam kemunculannya ke dunia ini.
Saya menawarkan salam saya kepada Nabi Muhammad pada kelahiran Yesus Kristus, yang afeksional menggambarkan anak Maria sebagai saudaranya dan tentang sabda Nabi; "Saya memiliki hak kepada Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat".
Demikian juga, saya menawarkan salam saya untuk umat Muslim, Kristen dan umat manusia pada umumnya pada kesempatan yang diberkati ini.
Dan saya berkata kepada Yesus Kristus: Tuanku, roh tuhan dan firmanNya, damai anda di hari anda dilahirkan, hari anda akan wafat dan hari dimana anda dibangkitkan kembali. (Rois Faisal .R)